FIQIH UTANG PIUTANG

Bismillahirrahmannirrahim.

Sahabat muslim yang dirahmati oleh Allah ta’ala tentunya kita ketahui bahwasanya agama islam merupakan agama yang telah Allah sempurnakan bagi seluruh makhluknya di akhir zaman ini.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin.”

Firman Allah:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ.

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Surat Saba’: 28)

Oleh karena itu Allah menjadikan Al Quran sebagai nikmatnya yang telah disempurnakannya. Yang memberi petunjuk kepada umat akhir zaman ini. Dan menjelaskan tentang segala hal yang berkaitan dengan hukum dan mu’amalah serta ushul (pokok) agama (tauhid) secara jelas dan terperinci.

Allah ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ.

“… Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu …” [An-Nahl: 89]

Maka Islam menerangkan tentang bagaimana seharusnya seorang hamba (jin dan manusia) bermu’amalah (menjaga hubungan) kepada penciptannya yaitu Allah dan juga kepada sesamanya. Termasuk salah satunya adalah permasalahan hutang piutang. Di mana ini merupakan perkara yang sering menimbulkan permasalahan di tengah tengah kita. Semoga dengan izin Allah dan pertolongannya kita bisa memahami Fiqih Utang Piutang dengan risalah yang sederhana ini.

FIQIH UTANG PIUTANG

1. Definisi Utang

Utang secara bahasa diambil dari kata:

دَانَ – يَدِينُ – دَينًا

Artinya adalah meminjam barang secara tetap (tidak ada pengurangan atau penambahan) dalam batas waktu yang ditentukan dengan akad antara pemberi hutang dan orang yang berhutang. Hutang didalam bahasa arab juga disebut sebagai القَرضُ (al qordhu).

Sebagaimana kalimat ini digunakan dalam firman Allah ta’ala:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ.

“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Surat Al-Hadid: 18)

Allah ta’ala berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al Baqoroh: 282)

2. Hukum Utang

Hutang di dalam sudut pandang Islam hukum asalnya adalah jaaiz (boleh). Dan ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al Kitab dan hadits Rasullullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al Baqoroh: 282).

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu ’anhaa, bahwasanya dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ –صلى الله عليه وسلم– اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)

Akan tetapi utang merupakan perkara yang dibenci di dalam Islam. Karena beberapa faktor:

1. Penghambaan kepada manusia.

Seseorang yang hendak berutang pastilah dia akan merendahkan dirinya dihadapan orang yang akan dia utangi sampai dia mendapatkan apa yang dia butuhkan itu. Dan ini lah salah satu bentuk kehinaan orang yang berhutang. Sebagaimana orang yang meminta minta kepafa manusia. Padahal jika dia menghambakan dan merendahkan dirinya hanya kepada Allah semata maka dia akan mendapatkan kemulian dan pertolongan Allah. Maka oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk hanya meminta kepada dirinya semata.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم.

Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kalian kepadaKu, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian’.” (QS Ghafir: 60).

Rasullullah shollaullahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمُ عَلَى اللهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ.

“Tidak ada sesuatu yang paling mulia bagi Allah Ta’ala daripada doa.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam Adabul Mufrad, Tirmidzi dan Hakim).

Dan inilah bagian keimanan yang diajarkan Rasullullah kepada sahabatnya; Ibnu ‘Abbas.

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ.

Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.

(Hadits riwayat Imam Tirmidzi di dalam kitab beliau Sunan At Tirmidzi no. 2516, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Al Musnad: 1/307)

2. Dusta dan khianat

Dari shabat ‘Aisyah radhiyaullahu ‘anhaa berkata: Rasullullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ.

“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya.” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Sedangkan di dalam utang terdapat ikatan janji yang terkadang seseorang bermudah mudahan didalam menunaikannya. Padahal janji adalah bagian dari hutang, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban kelak dihari hisab.

Allah ta’ala berfirman:

…وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا… (سورة الإسراء 34)

“… Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban …” (QS Al-Israa’: 34)

3. Memutus silaturrahmi dan hubungan kepada sesama.

Tentunya kita ketahui berapa banyak orang yang berutang dia menunda pembayaran utangnya dengan sengaja atau bermudah-mudahan, bahkan ada juga yang berniat tidak mau membayar. Sehingga ini merupakan bentuk kezoliman yang akan membuat renggang hubungan antara orang yang berutang dan orang yang memberi utang. Oleh karena itu, Rasullullah bersabda:

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ ‏‏أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا. (رواه ابن ماجة 2410)

“Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang PENCURI.” (Hr Ibnu Majah. Hasan shahih)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ.‏

(رواه البخاري 2287 ، مسلم 1564، النسائي 4688 ، ابو داود 3345، الترمذي 1308)

“Menunda-nunda (bayar utang) bagi orang yang mampu (bayar) adalah kezaliman.” (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi)

Oleh karena itu, di dalam syariat Islam menjaga diri dari utang merupakan perkara yang sangat dianjurkan. Bahkan nabi kita Muhammad senantiasa berdoa kepada Allah agar diberikan penjagaan dan dibebaskan dari sifat suka berutang. Karena tentunya suka berutang merupakan sifat yang tercela.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang.”

(HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Dan hukum berutang ini juga bisa berubah dari diperbolehkan menjadi dibenci bahkan diharamkan, tergantung pada mu’amalahnya (pelaksanaannya).

Jika pengutang berniat tidak mau membayar dan bermudah mudahan didalam hutang maka perkara ini merupakan perkara yang dibenci.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ.

“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ.

“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lain-lain)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ.

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya.” (HR Bukhari no. 2288)

Jika dalam akad utang piutang itu terdapat keuntungan bagi pemberi utang, maka ini hukumnya menjadi haram karena utang piutang jenis ini disebut Riba.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا.

“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka mengambil tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” (Lihat Al-Mughni, 6: 436)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ.

“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)

Dalam hadits disebutkan,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ.

“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”

(Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Harits Ibnu Abi Usamah dalam musnadnya sebagaimana disebut dalam Bughyah Al-Bahits, 1: 500, dari jalur Sawar bin Mash’ab, dari ‘Imarah Al-Hamdani, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini bermasalah)

Oleh karena itu, para ulama menyebutkan salah satu kaidah fikih tentang permasalahan utang adalah:

“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba.”

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah– berkata, “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, ‘Saya beri Anda utang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat Anda berikan rumah atau tokomu, atau Anda hadiahkan kepadaku sesuatu’ atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.”

[Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51]

Akan tetapi, jika seorang yang berutang memberikan sesuatu kepada pemberi hutang tanpa akad dan perjanjian. Melainkan karena sebab ingin membalas kebaikan saudaranya yang telah memberikan pinjaman (utang) kepadanya. Maka ini tidak termasuk riba dan ini merupakan perkara yang dianjurkan dalam rangka bersyukur kepada manusia.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ.

“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dan salah satu bentuk rasa syukur kita kepada orang yang memberikan kebaikan kepada kita yaitu dengan cara kita membalas kebaikannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata:

“Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas dengan setimpal.” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian.” [Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305 ]

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي.

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya.”
[Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394]

3. Bahaya Utang.

Sahabat muslim yang dirahmati oleh Allah ta’ala di manapun kalian berada. Tentunya sebaik baiknya orang beriman adalah orang yang memiiliki azam (niat) yang kuat untuk membayar utangnya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً.

“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari no. 2393)

Akan tetapi, tentunya seseorang yang bermudah-mudahan dalam utangnya sehingga dia menunda pembayaranya atau tidak berniat untuk membayarnya, maka berhati-hatilah terhadap bahaya yang menantinya ketika ajal menjemput sedangkan dia masih memiliki hutang. Di antarannya:

1. Allah tidak akan memudahkannya di dalam melunasi hutangnya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.

“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ.

“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hadits dari Ummul Mukminin Maimunah:

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا.

Dulu Maimunah ingin berutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya–di dunia-)

2. Dosa yang tidak akan diampuni, meskipun dia melakukan amalan yang besar di dalam Islam (mati syahid)

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ.

“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886)

3. Menjadi orang yang bangkrut di hari hisab.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ.

“Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

4. Terhalangi masuk surga.

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ.

“Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: (1) sombong, (2) ghulul (khianat), dan (3) utang, maka dia akan masuk surga.”

(HR. Ibnu Majah, no. 2412 dan Tirmidzi, no. 1573. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana di dalam kitab Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)

5. Dihukumi sebagai pencuri.

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا.

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Inilah bahaya dari utang yang di mana orang yang berhutang tersebut bermudah mudahan di dalamnya.

4. Adab di dalam utang piutang.

Sahabat muslim yang dirahmati oleh Allah ta’ala. Tentang utang piutang ini, Allah telah memberikan penjelasan yang sangat jelas di dalam Al Quran (kalamullah). Semua terangkum dalam satu ayat di dalam surat Al Baqoroh ayat yang ke 282 (ayat terpanjang dalam Al-Qur’an menyebutkan):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (utang/kredit) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimla’kan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menerangkan perintah untuk mencatat setiap transaksi utang piutang, baik dianggap hukumnya wajib ataukah sunnah, karena mencatat ini amatlah penting. Tanpa adanya pencatatan biasa akan terjadi kekeliruan, kealpaan, cekcok, dan berbantah-bantahan. Ini semua dampak jelek karena tidak adanya pencatatan.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 110)

Maka dari ayat ini kita dapat mengetahui di antara adab-adab dalam perkara utang piutang adalah:

1. Hendaknya utang itu dicatat (ditulis) baik oleh pengutang atau yang memberikan hutang.

2. Hendaknya ada saksi untuk menyaksikan proses utang itu.

Bisa dengan 2 orang laki-laki atau seorang laki laki dan 2 perempuan yang menjadi saksinya.

3. Perjanjian yang ditulis dan perjanjian utang piutang harus jelas, bahkan dianjurkan untuk dibacakan agar tidak terjadi kesalahan dalam tulisan ataupun pemahaman.

4. Bertakwa di dalam mu’amalah utang piutang, baik dalam membuat perjanjiannya, membayarnya, atau ketika menagihnya.

5. Adil dan jujur di dalam perkara utang piutang tersebut.

6. Adab dan hak orang yang memberikan utang di dalam menagihnya.

Sahabat muslim yang dirahmati oleh Allah ‘azza wa jalla. Tentunya terkadang proses hutang piutang tidak selamannya baik. Terkadang pihak peminjam (orang yang berutang) tidak mampu membayar utangnya sesuai waktu yang telah ditentukan di dalam akad. Atau mungkin ada yang hilang tanpa berita, atau tidak mau membayar utang.

Lalu bagaimana Islam mengajarkan kita jika kita sebagai orang yang memberikan hutang (pengutang) mendapati keadaan seperti itu.

1. Gunakan cara yang lembut dan baik.

Ketika seseorang menagih utangnya sebaiknya dengan cara yang baik. Karena inilah yang dianjurkan oleh Nabi shollallahu alaihi wa sallam.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى.

“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).”

(HR. Bukhari no. 2076)

“Yang dimaksud dengan ‘ketika menagih haknya (utangnya)’ adalah meminta dipenuhi haknya dengan memberi kemudahan tanpa terus mendesak.” (Fathul Bari, 6/385)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda untuk orang yang memiliki hak pada orang lain,

خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ.

“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ.

“Siapa saja yang ingin meminta haknya, hendaklah dia meminta dengan cara yang baik baik pada orang yang mau menunaikan ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1965. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

2. Boleh dengan sikap tegas dan memaksa. Bahkan menggunjing dan menyita barang atau memenjarakannya.

Akan tetapi, tidak menjadi suatu dosa seorang yang telah memberi pinjaman untuk berkata keras (memaksa) bahkan memenjarakan atau mensita harta milik penghutang sebagai jaminan jika orang yang berutang tersebut merupakan orang yang menunda pembayarannya dalam keadaan mampu atau sengaja. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam hadits.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً.

“Seseorang menagih utang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai hak/berhak berkata seperti itu (bicara dengan keras dan memaksa). Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata: “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran.” (Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390)

Bahkan berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم.

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman.” (Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427)

Dalam riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه.

“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan halal (juga) kehormatannya.”

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pembayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya.” (Ibid, no. 2401)

Bahkan dia boleh untuk menyita hartanya sampai orang yang menunda hutang tersebut mampu untuk melunasi utangnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ.

“Barang siapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya.” (Ibid, no. 2402)

3. Memberikan udzur dan tambahan waktu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –Abul Yasar-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ.

“Barang siapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barang siapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.”

(Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,

من أنظر معسرًا فله بكل يوم صدقة قبل أن يحل الدين فإذا حل الدين فأنظره كان له بكل يوم مثلاه صدقة.

“Barang siapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thobroniy, Al Hakim, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 86 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ.

“Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, “Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?” Kemudian dia mengatakan, “Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.” Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari no. 2077)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ.

“Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berkata (yang artinya), “Lihatlah amalannya.” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

4. Mendoakan orang yang sulit membayarnya.

Mendoakan orang yang berhutang kepada kita agar Allah memudahkannya merupakan bagian dari keimanan dan rasa cinta kita pada saudara muslim.

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena seorang muslim harus senantiasa saling tolong menolong di dalam kebaikan.

Allah ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Surat Al Maidah: 2)

Karena ketika kita menolong saudara kita, maka Allah akan senantiasa menolong kita.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam,

وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ.

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR Muslim: 2699, at-Turmudziy: 1930, 1425, 2945, Abu Dawud: 4946, Ibnu Majah: 225 dan Ahmad: II/ 252, 296, 500, 514. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih)

Begitu juga kepada saudara kita yang berbuat zolim kepada kita, salah satunya tidak menepati janjinya dalam membayar hutangnya atau yang lainnya.

قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah ﷺ, jelas kami faham menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana kami harus menolong orang yang berbuat zalim?” Beliau bersabda:
“Pegang tangannya (hentikan ia agar tidak berbuat zalim).” (Bukhori: 2264)

Maka inilah cara kita menolong saudara kita yang berbuat zolim. Yaitu dengan mencegahnya dari berbuat zolim. Dan salah satunya adalah dengan mendoakannya.

Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,

إن العبد ليحرم الرزق بالذنب يصيبه، وإن القضاء لا يرده إلا الدعاء، وإن الدعاء مع القضاء يعتلجان إلى يوم القيامة، وإن البر يزيد في العمر.

“Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rizkinya karena dosa yang dilakukannya. Sesungguhnya takdir itu tidaklah berubah kecuali dengan doa. Sesungguhnya doa dan takdir saling berusaha untuk mendahului, hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya perbuatan baik (kepada orang tua) itu memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 22438, Ibnu Majah no. 22438, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad)

5. Mengikhlaskannya (memutihkan) utang tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Dari Abul Yasar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ.

“Barang siapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barang siapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.”

(Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ.

“Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, “Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?” Kemudian dia mengatakan, “Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.” Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari no. 2077)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ.

“Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari no. 2078)

Maa syaa Allah… Inilah syariat Islam yang merupakan agama yang rahmatan lil’alamin (sebagai rahmat di alam semesta ini), artinya membawa rahmat untuk semua umat. Dikatakan demikian karena Islam datang membawa ketenangan, kedamaian, keamanan, dan perlindungan kepada umat manusia.

Firman Allah ta’ala,

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ.

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS. Al Anbiya: 107)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhu dalam menafsirkan ayat ini:

من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف.

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau diterpa gelombang besar.”

Dalam riwayat yang lain:

تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل.

“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu.”

Semoga Allah senantiasa menjadikan kita selalu di dalam rahmatnya. Dan menambahkan kita ilmu serta hidayahnya kepada jalan yang lurus.

Wallahu a’lam bishowab.
Catatan santri yaman
Ustadz Khalil Gibran

Alumni Dar el Hadits Dammaj-Yemen
Syaikh Muqbil Al Muhadits

Alumni Dar el Hadits Fiyus-Yemen
Syaikh Abdurrahman Al ‘Adeni Al Mufaqqih

Alumni Dar el Hadits Sumain-Yemen
Syaikh Ahmad bin Sa’id Al Muhaddits.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *