HUKUM MENJUAL SESUATU UNTUK DIGUNAKAN DIDALAM KEMAKSIATAN.

BIsmillahirrahmannirrahin.

Sahabat muslim yang dirahmati oleh Allah ta’ala. Tentunya kita ketahui bahwa menolong seseorang didalam perbuatan kemaksiatan adalah hal yang diharamkan didalam islam. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah :

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

” dan saling tolong menolonglah kalian didalam kebaikkan dan ketaqwaan dan janganlah kalian saling tolong menolong didalam dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah memiliki adzab yang pedih.,[ al maidah : 2].

Adapun bentuk tolong menolong didalam perkara maksiat atau dosa banyak jenisnya diantarannya :

1.memberi pinjaman baik dengan barang atau harta untuk suatu kemaksiatan.

2.memberi dengan cuma cuma untuk terlaksananya kemaksiata itu

3.mendukung dengan hati dan raga kemaksiatan itu.

4.memberikan bantuan dan kemudahan untuk kemaksiatan.

5.menjual sesuatu untuk digunakan didalam kemaksiatan.

Maka tentunya untuk point 1 sd 4 kita sudah memahaminya. Akan tetapi pada point ke5 terdapat beberapa hukum yang terkait dengannya, diantaranya:

1. Menjual barang yang haram untuk sesuatu yang diharamkan.

Maka tentu hal ini diharamkan. Karena ini termasuk kedalam hukum yang telah ditetapkan didalam surat al maidah ayat : 2

2. menjual barang yang halal untuk hal yang haram.

Maka tentunya hukumnya perlu dirinci.

1. Jika dia meniatkan dan mengetahui jika itu akan digunakan untuk hal yang haram maka hukumnya menjadi haram baginya.

Sebagaimana disebutkan dalam surat al maidah 2 dan hadits rasullullah shollaullahu alaihi wasallam:

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ _يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ

“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya.” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Didalm hadits ini ada dua hal yang harus dipahami. Yaitu “.Meniatkan” dan ” mengetahui ”

Lalu bagaiman jika dia tidak meniatkan akan tetapi mengetahui. Maka hukumnya sama saja. Jual beli itu akan menjadi rusak ( tidak sah ) dan dia terjatuh kedalam perkara yang haram karena terhitung sebagai penolong untuk seseorang melakukan hal yang haram.

Dan ini sebagaimana pendapat imam ahmad dan ulama madzhab hanabilah.

Akan tetapi jika dia tidak meniatkan dan tidak mengetahui maka dia tidak berdosa.karena rasullullah bersabda :

حفظه الله عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallah anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.” ( Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), al-Hâkim (II/198), Ibnu Hibbân (no. 7175 –at-Ta’lîqâtul Hisân), al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afâ (IV/1298)

Dan hadits diatas selaras dengan firman Allah ta’ala:

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allâh Maha pengampun, Maha penyayang. [al-Ahzâb/33:5]

Oleh karena itu para ulama mebuat Qoidah syar’iyah :

Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

أَنَّ الْحُكْمَ لَا يَثْبُتُ إلَّا مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعِلْمِ

“Hukum tidaklah ditetapkan kecuali setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 226).

Beliau juga menyebutkan :

وَلَا يَثْبُتُ الْخِطَابُ إلَّا بَعْدَ الْبَلَاغِ

“Tidaklah ditetapkan hukum melainkan setelah sampainya ilmu.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 41).

Maka dari penjelasan diatas kita dapat memahami. Jika kita menjual barang untuk hal yang diharamkan dalam keadaan kita mengetahui keharamannya kemudian kita mengetahui tujuan dia membeli barang itu untuk suatu hal yang diharamkan dan kita tetap meniatkan u untuk menjual, maka dia telah terjatuh kedalam keharaman dan jual belinya rusak ( tidak sah ).

Waullahu a’lam bi showab.

Penyusun : Ustadz. Khalil gibran Bekasi.