Memahami makna Fiqih

Bismillahirrahmannirrahim. Sahabat muslim yang dimuliakan oleh Allah. Ada baiknya sebelum kita memulai mempelajari fiqih kita terlebih dahulu mengenal apa itu kata ” Fiqih ”

Kata Fiqih secara bahasa

Kata fiqih diambil dari kata didalam bahasa arab. Dia merupakan kata musytaq yang diambil dari kata :

فقِهَ يفقَهُ
faqiha – yafqahu,

Al Fiqhu ( الفقه ) adalah bentuk mashdar dari kata tersebut yang Secara bahasa, bermakna:  fahmun (فَهْمٌ), yang artinya pemahaman yang mendalam yang memerlukan pengerahan akal pikiran.

Makna ini sebagaimana yang ditunjukkan didalam firman Allah ta’ala, diantaranya :

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي *يَفْقَهُوا قَوْلِي

dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahai perkataanku,
(QS. Thaha : 27 – 28)

مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِّمَّا تَقُولُ
kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
(QS. Hud : 91)

Adapun secara istilah ( syar’i ), para ulama mendefinisikan makna Fiqih sebagai berikut :

Al imam Abu Hanifah mendefinisikannya kata fiqih sebagai berikut:

مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَ مَا عَلَيْهَا
“…pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”

Adapun ulama kalangan Syafi‘iyyah mereka mendefinisikan kata fiqih sebagai berikut:

العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

“Pengetahuan tentang hukum syar’i ( syariat islam )yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari dalil yang terperinci.”

1. Al-Utsaimin

مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ بِأَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.

[ Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Al-Ushul min Ilmi Al-Ushul, (Daaru Ibni Al-Jauziy) hlm. 7]

2. Az-Zarkasyi

الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

[ Az-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushul Al-Fiqh, (Daarul Kutubi, 1994), juz 1, hlm 34].

3. Imam Al-Haramain

هُوَ الْعلم بِأَحْكَام أَفعَال الْمُكَلّفين الشَّرْعِيَّة دون الْعَقْلِيَّة

Adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf secara syar’i bukan secara akal.

[ Abdul Malik Al-Juwaini, At-Takhlish fi Ushul Al-Fiqh, (Daarul Basyaair Al-Islamiyyah), hlm 105]

 

Hal ini berdasarkan dengan hadits :

Dari Mu’awiyah radhiallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi).

Didalam hadits ini makna yufaqqihu ( يفقّه ) adalah agar Allah memberikan pemahaman terhadapnya tentang hukum syariat islam.

Dan ini juga termasuk salah satu doa Nabi Shollaullahu alaihi wasallam kepada Sahabat Ibnu Abbas radhiyaullahu ‘anhu.

Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الخَلاَءَ فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوءًا ، قَالَ : مَنْ وَضَعَ هَذَا ؟ ، فَأُخْبِرَ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Sesunggunya Nabi Saw masuk kamar mandi, kemudian saya meletakkan air wudhu untuk beliau. Kemudian beliau bertanya, ‘Siapa yang meletakkan ini? Lalu Ibnu Abbas memberitahu Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw berdoa, ‘Allohumma faqqihni fiddin.’”

Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Waullahualam bishowab

Penyusun : ustadz.khalil gibran bin hadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *